Selasa, 03 April 2012

Bung Karno "Biarkan aku yang terluka" Real Story

Tidak terlalu berlebihan kiranya apabila Bung Karno mendapat julukan Putera Sang Fajar, secara awam dapat saya katakana bahwa Bung Karno merupakan sosok yang membawa bangsa ini menuju fajar kemerdekaan.



Seluruh kekuaatan bangsa ini ada dalam genggaman Bung Karno, merah kata Bung Karno maka merelah seluruh Indonesia, hitam kata Bung Karno maka hitamlah Indonesia. Perkataan Bung Karno serta ajaran yang disampaikan akan menjadi isi kepala seluruh bangsa Indonesia.



Melihat dari latar belakang diatas maka yang ada dalam fikiran kita adalah: Bung Karno akan menggenggam Indonesia samapai saatnya dia menghadap Sang Pencipta. Pengangkatan Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup tentunya melanggar Undang-Undang, tetapi dianggap sebuah kebenaran terutama oleh masyarakat kalangan bawah. Namun demikian sejarah telah menentukan sesuatu yang berbeda, dimana akal dan perkiraan manusia tidak lagi mampu memegang serta menjadi sutradara jalannya sebuah sejarah.



Tulisan yang sangat singkat ini sedikit member gambaran betapa pedihnya sayatan pedang sejarah.



Tak lama setelah mosi tidak percaya Parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Bung Karno dengan wajah sedih membaca surat pengusiran itu. Ia sama sekali tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya.



Wajah-wajah tentara yang diperintahkan Suharto untuk mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. “Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang”.



Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. “Mana kakak-kakakmu?” kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata “Mereka pergi ke rumah Ibu” rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.

Bung Karno berkata lagi “Mas Guruh, Bapak sudah tidak boleh tinggal di

Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil

lukisan atau hal lain itu punya negara”. Kata Bung Karno lalu ia pergi

ke ruang depan dan mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia.

Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia maklum, ajudan itu sudah

ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. “Aku sudah tidak boleh

tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun,

Lukisan-lukisan itu, souvenir, dan macam-macam barang itu milik negara”.

Semua ajudan menangis Bung Karno mau pergi, “Kenapa bapak tidak

melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan” salah satu ajudan hampir

berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. “Kalian tau apa, kalau

saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau

perang dengan Belanda kita jelas hidungnya beda dengan hidung kita,

perang dengan bangsa sendiri tidak..lebih baik saya yang robek dan

hancur daripada bangsa saya harus perang saudara”. Beberapa orang dari

dapur berlarian saat tau Bung Karno mau pergi, mereka bilang “Pak kami

tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi

belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak

dari biasanya” Bung Karno tertawa “Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga

hari itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya

apa….”

Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datan

seorang perwira suruhan Orde Baru. “Pak, bapak segera meninggalkan

tempat ini” beberapa tentara sudah memasuki beberapa ruangan. Dalam

pikiran Bung Karno yang ia takuti adalah bendera pusaka. Ia ke dalam

ruang membungkus bendera pusaka dengan kertas koran lalu ia masukkan

bendera itu ke dalam baju yang dikenakannya di dalam kaos oblong, Bung

Karno bendera pusaka tidak akan dirawat oleh rezim ini dengan benar.

Bung Karno lalu menoleh pada ajudannya Saelan. “Aku pergi dulu” kata

Bung Karno hanya dengan mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang

hitam. “Bapak tidak berpakaian dulu” Bung Karno mengibaskan tangannya,

ia terburu-buru. Dan keluar dari Istana dengan naik mobil VW kodok ia

minta diantarkan ke rumah Ibu Fatmawati di Sriwijaya, Kebayoran.

Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan

halaman, matanya kosong. Ia sudah meminta agar Bendera Pusaka itu

dirawat hato-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun yang

tumbuh di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya, ia sakit ginjal

parah namun obat-obatan yang biasanya diberikan tidak kunjung diberikan.

Hanya beberapa minggu Bung Karno di Sriwijaya tiba-tiba datang satu

truk tentara ke rumah Sriwijaya. Suatu saat Bung Karno mengajak

ajudannya yang bernama Nitri yang orang Bali untuk jalan-jalan. Saat

melihat duku Bung Karno bilang “Aku pengen duku..Tri, Sing Ngelah Pis,

aku tidak punya uang” Nitri yang uangnya juga sedikit ngelihat

dompetnya, ia cukup uang untuk beli duku. Lalu Nitri mendatangi tukang

duku dan berkata “Pak bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil”

Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke Bung Karno “Mau pilih mana Pak,

manis-manis nih” kata Tukang Duku dengan logat betawi. Bung Karno

berkata “Coba kamu cari yang enak” Tukang Duku-nya merasa sangat akrab

dengan suara itu dan dia berteriak “Lha itu kan suara

Bapak…Bapak…Bapak” Tukang Duku berlari ke teman-temannya pedagang

“Ada Pak Karno…ada Pak Karno” serentak banyak orang di pasar

mengelilingi Bung Karno. Bung Karno tertawa tapi dalam hati ia takut

orang ini akan jadi sasaran tentara karena disangka mereka akan

mendukung Bung Karno. “Tri cepat jalan”….. Mendengar Bung Karno sering

keluar rumah maka tentara dengan cepat memerintahkan Bung Karno

diasingkan. Di Bogor dia diasingkan ke Istana Batu Tulis dan dirawat

oleh : Dokter Hewan…..

Kenyataan tragis yang dialami oleh Bung karno merupakan gambaran tragis kondisi politik dan sistim alih kekuasaan di Indonesia. Bung Karno telah memberikan seluruh catatan hidupnya untuk kebangkitan Bangsa Indonesia, walau pada akhirnya di Indonesia pula Bung Karno di campakkan.

Jumat, 30 Maret 2012

Biografi Soe Hok Gie ( 1942-1969)


Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.





Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.


Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?


Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.


Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.


Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.


Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.


Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.


Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.


Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.




Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.


Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:


“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”


8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

\24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati

Beban Sang Tukang Bakmie. (Kisah Nyata)

~17 maret 2012~
---------------



Hari ini Tuhan sepertinya mencoba berbicara lagi kepadaku , ya seperti biasa, dengan caraNya yang unik dan tak tertebak. Kisah ini dimulai dengan si mama yang memintaku untuk mengantarnya ke rumah ex-tetangga kami, untuk menjenguk bayi mereka yang baru lahir. Setelah aku berberes sedikit, kami pun berangkat ke rumah sang ex-tetangga kami, sampainya di sana, ternyata mereka sedang pergi  untuk mengontrol kesehatan sang bayi yang ternyata sudah satu bulan umurnya ke dokter.



Yaaah, karena rambutku sudah gondrong layaknya anak band, aku pun mengajak si mama untuk pergi ke salon langganan. Singkat cerita, rambutku sudah "jarang" kembali, kami pun pulang.
Belum jauh dari salon itu, si mama melihat sebuah kios bakmie ayam, "Bakmie Muda" namanya, dia bertanya kepadaku, "Mau bakmie gak??", aku pun menjawab dengan sedikit akting berpikir, "Hmm..boleh deh..", kami pun akhirnya berputar dan mampir ke kios itu.

Ku parkirkan motorku, kami pun turun, lalu menengok ke dalam, "Gelap ya..?", kata si mama. Terlihat seorang bapak tua sedang duduk sendirian di dalam dengan raut wajah yang jujur saja mengundang simpatiku, kami pun masuk. Dengan senyum ramah dia menyapa dan bertanya, "Silahkan, mau pesan apa..?", kami duduk dan berpikir sejenak tentang apa yang ingin dipesan, akhirnya kami memesan dan menunggu, sambil si bapak tua memasak pesanan kami.



17.00 WIB -------

Aku keluarkan handphone-ku, memeriksa apa adakah pesan singkat yang masuk selama tadi di perjalanan. Lalu keluar lah dari dalam, seorang ibu - ibu yang tak kalah ramah senyumnya, "Mau minum apa..?", setelah kami memutuskan untuk minum apa, dia pun masuk kembali ke dalam untuk menyiapkannya. Belum lama ibu itu masuk, muncul dari dalam, seorang pemuda berbadan besar, berpakaian rapi dengan kemeja dan celana bahan, ku perkirakan usianya 30 tahun-an, sambil menatap tajam, dia melewati aku kepadaku menuju bapak tua tadi yang nampaknya adalah ayahnya, perasaanku bilang, ada yang salah tentangnya. Lalu ayah dan anak itu berbisik, entah apa yang diperbincangkan, aku tak mendengarnya dengan jelas.


Akhirnya sang ibu - ibu datang kembali untuk menghidangkan menu yang kami pesan. Saat ia mendekat untuk menaruh makanan dan minuman kami, aku tertegun melihat tangannya yang bergetar seperti orang yang pernah terkena atau mungkin sedang stroke , aku berharap dugaanku salah. Karena pesanan kami telah siap di meja, kami pun mulai menyantap dengan lahap, ku akui, bakmie ini sangatlah enak. 

Si bapak tua dan si pemuda sepertinya sudah selesai berbincang ku lihat, si bapak tua akhirnya membuka sebuah toples, dan memberikan sesuatu ke pemuda besar itu, pemuda besar itu pun duduk dekat si ibu dengan tenang. Singkatnya kami sudah selesai makan, kami pun ingin pulang, saat ingin membayar, ternyata wow, murah loh makanannya. Karena mama sedang tak membawa uang pecahan kecil, jadi si ibu - ibu harus menukar uang dulu ke pedagang lain di area itu. 


Aku beranjak duduk menunggu di atas motor, si ibu - ibu pun datang dari warung lain dengan kaki tertatih - tatih, ternyata benar firasatku, dia terkena gangguan saraf motorik a.k.a "Stroke". Kembalian pun sudah didapat, kami pun pamit pulang kepada mereka, senyum ramah merekalah yang membalas pamit kami.


Di perjalanan pulang, aku bertanya pada si mama, "Ma, cowo tadi (pemuda anak bapak tua) minta apa sih sama papanya?", "Tadi dia itu minta permen, kayaknya mama liat, dia itu terbelakang deh". Aku makin simpati, ya Tuhan..pikirku, berat sekali hidup keluarga tadi, sang ibu terkena stroke, sang anak terbelakang mentalnya, dan sang kepala keluarga sangat sepi kiosnya, aku terus menerus terpikir tentang mereka sepanjang perjalanan.


Sampainya di rumah, saat si mama asyik bermain di luar dengan cucu tetangga, aku duduk sendiri di dalam. Mata ini menangis  saat teringat lagi keluarga sang tukang bakmie dan setumpuk beban hidup mereka itu. Akhirnya ku putuskan akan menulis tentang mereka.


update Jam 18.00 WIB -------


Aku pergi ke rumah seorang teman untuk bertanya sesuatu, pulangnya aku iseng - iseng telusuri jalan lewat kios bakmie tadi, untuk melihat apakah di jam - jam ini, kios itu tak sepi layaknya tadi saat aku makan di sana. Ternyata cuma ada si bapak tua yang duduk di dalam, tanpa ada satu pelanggan pun....